Minggu, 16 Desember 2012

MANDAU



Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar, Kutai, Berau, Tidung dan orang Melayu. Di  kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, ke mana pun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jati diri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.
Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Berbeda dengan parang, mandau memiliki ukiran-ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.
Bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikai, Samba, Kotawaringin Timur. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan.
Struktur Mandau
1.      Bilah mandau

Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh di atasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
2.      Gagang (Hulu Mandau)


Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.


3.       Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Nilai Budaya

Pembuatan mandau, jika dicermati secara saksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

BATANG GARING


Pohon untuk menyebut masa lalu atau asal muasal di masa lalu, sebab perkembangan sebuah pohon yang dimulai dari fase biji dan diakhiri dengan fase buah yang disertai biji baru, menyimbolkan perkembangan manusia dari suatu asal menuju suatu akhir. Simbol perjalanan dari sangkan menuju paran, dari alpha menuju omega. Sejarah penciptaan keberadaan yang berjalan terus menuju ketiadaan abadi.
Pohon sebagai simbol sejarah sakral juga dimiliki oleh orang Dayak Ngaju di Kalimantan. Mereka memiliki suatu lukisan yang mereka sebut Batang Garing atau ‘Pohon Kehidupan’. Dalam lukisan tersebut, ada gambar sebuah pohon yang memiliki dahan, daun dan buah, yang di atasnya terdapat dua burung enggang dan matahari, dan di bawahnya terdapat sebuah guci berisi air suci. Pohon Batang Garing itu bertumpu pada batu-batuan yang ada di bawah guci tadi.

Semua yang digambarkan dalam lukisan Batang Garing memiliki makna-makna simbolik. Dua burung enggang dan matahari yang dilukis di atas pohon menyimbolkan Ranying Mahatala Langit, ‘Yang Maha Tinggi di Langit’, sumber segala kehidupan. Dua burung enggang menyimbolkan kekuatan generatif lelaki dan kekuatan generatif perempuan. Sedangkan gambar pohon menyimbolkan kehidupan atau penciptaan semesta dan makhluk-makhluk di dalamnya. Dahan-dahannya menyimbolkan Jata, ‘Yang Maha Kuasa di Bumi’, sedangkan daun-daunnya yang berbentuk ekor burung enggang menyimbolkan Ranying Mahatala Langit, ‘Yang Maha Tinggi di Langit’. Buah-buah di pohon itu ada yang mengarah ke atas dan ada yang ke bawah. Buah-buah yang mengarah ke atas mengingatkan manusia akan asal-muasal kehidupannya, yakni ‘Yang Maha Tinggi di Langit’. Sementara buah-buahnya yang mengarah ke bawah mengingatkan manusia akan asal-muasal keturunannya di dunia ini, yakni keturunan Raja Sangiang, Raja Sangen, dan Raja Bunu. Pohon Batang Garing yang digambar dalam bentuk tombak dan menunjuk ke atas menyimbolkan Ranying Mahatala Langit, sedangkan guci berisi air suci yang ada di bawah gambar pohon menyimbolkan Jata. Gambar batu-batu di bawah guci menyimbolkan pulau tempat anak-cucu Raja Bunu hidup, yang kelak melahirkan semua manusia di bumi ini.


Dengan lukisan pohon Batang Garing ini, orang Dayak Ngaju melukiskan sejarah sakralnya, dari suatu asal-mula di masa lalu di langit menuju suatu akhir di masa depan di bumi.
Tradisi Semitik (Yahudi, Kristianitas, dan Islam) juga memiliki simbolisme pohon untuk menjelaskan sejarah sakralnya. Baik dalam Al-Quran maupun Bible, terdapat simbolisme pohon, yakni pohon khuldi, yang memiliki hubungan erat dengan asal-usul penciptaan manusia. Dalam kitab diceritakan bahwa Tuhan memiliki rencana agung untuk menciptakan WakilNya atau BayanganNya di bumi, yang kelak Ia namakan sebagai Adam dan Hawwa.

Dalam tradisi mistik Yahudi Chasidism, terdapat pula simbolisme pohon untuk menjelaskan sejarah sakral keberadaan manusia, yakni ‘Pohon Sephiroth’. Sephiroth adalah kata Hebrew yang berarti ‘sepuluh bola’. Jadi, ‘Pohon Sephiroth’ (the Tree of Sephiroth) ialah gambar sepuluh bola yang saling berhubungan satu sama lain, bertingkat empat yang pada setiap tingkatnya terdapat sepuluh bola, sehingga empat tingkat itu membentuk dan menyerupai sebuah pohon.
‘Pohon Sephiroth’ adalah simbol dari Adam Rohani (Adam Kadmon, Archetypal Adam), yakni Adam yang masih berbentuk ruh, ‘Ide Semesta’, yang darinya berasal penciptaan semesta. Adam Rohani ini memiliki ‘tubuh rohani’ berupa sepuluh bola (Sephiroth), yang masing-masing bola memiliki nama. Bola pertama disebut Kether (‘Mahkota’); bola kedua Chochmah (‘Kebijaksanaan’); bola ketiga Binah (‘Pemahaman’); bola keempat Chesed (‘Kasih Sayang’); bola kelima Geburah (‘Keuletan’); bola keenam Tiphereth (‘Keindahan’); bola ketujuh Netsah (‘Kemenangan’); bola kedelapan Hod (‘Kecemerlangan’); bola kesembilan Jesod (‘Fondasi’ atau ‘Asas Dasariah’); terakhir, bola kesepuluh Malchuth (‘Kerajaan’)

Kether adalah ‘Mahkota’ dari ‘Kepala Rohani’ (the Prototypic Head) yang menyimbolkan glandula pinealis, syaraf otak yang menghubungkan tubuh dan roh; Chochmah dan Binah adalah bagian kanan dan bagian kiri dari ‘Sang Otak Agung’ (the Great Brain); Chesed dan Geburah (Pechad) adalah lengan kanan dan lengan kiri yang menyimbolkan anggota-anggota tubuh kreatif-aktif dari ‘Sang Manusia Luhur’ (the Grand Man); Tiphereth adalah hati atau bagian tubuh dari dada hingga pinggang; Netsah dan Hod adalah kaki kanan dan kaki kiri yang menyimbolkan anggota-anggota tubuh penyangga dunia; Jesod adalah sistem generatif atau asas dasariah dari bentuk keberadaan; dan Malchuth menyimbolkan dua kaki atau asas dasariah keberadaan.  Terkadang, Jesod dianggap sebagai daya generatif lelaki dan Malchuth sebagai daya generatif perempuan.

Digambarkan dalam empat tingkat, ‘Pohon Sephiroth’ menyimbolkan empat huruf dari Nama Tuhan yang Suci, yakni IHVH. ‘Pohon Sephiroth’ di tingkat pertama adalah simbol huruf suci I; ‘Pohon Sephiroth’ di tingkat kedua adalah simbol huruf suci H; ‘Pohon Sephiroth’ di tingkat ketiga adalah simbol huruf suci V; dan ‘Pohon Sephiroth’ di tingkat terakhir adalah simbol huruf suci H. Huruf suci pertama I menyimbolkan ‘Sang Bapak Agung’ (Abba), sedangkan huruf suci kedua H menyimbolkan ‘Sang Ibu Agung’ (Aima). Huruf suci ketiga V menyimbolkan ‘Sang Ibu Adam Kecil’ (the Mother of the Lesser Adam), yang lahir dari penyatuan Abba dan Aima, sedangkan huruf suci terakhir H menyimbolkan ‘Pasangan Adam Kecil’ (the Bride of the Lesser Adam), yakni unsur-unsur penciptaan alam fisikal.

Semua manusia di dunia, menurut Chasidism, berasal dari Abba dan Aima yang melahirkan ‘Ibu Adam Kecil’. Dari ‘Ibu Adam Kecil’ lahirlah ‘Adam Kecil’, yakni Adam yang kita kenal dalam  Al-Quran dan Bible. ‘Adam Kecil’ ini memiliki ‘Pasangan’, yakni unsur-unsur penciptaan semesta api, air, udara, dan tanah. Sejarah sakral dari itu semua dilukiskan ahli mistik Yahudi dalam simbol ‘Pohon Sephiroth’.

Semua sejarah sakral yang disimbolkan dengan simbolisme pohon sebagaimana di atas, berupaya memberi peringatan bagi manusia yang lupa, bahwa sesungguhnya ia berasal dari Yang Ilahi.


Jumat, 14 Desember 2012

Kelestarian kesenian dan budaya



Nilai budaya yang dimiliki masyarakat Kalimantan Tengah tersebar di kabupaten/kota, maka perlu dikembangkan nilai budaya khusus budaya Dayak yang sangat spesifik dan keberagaman budaya antar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Pengembangan budaya Dayak perlu dikelola dengan baik untuk menumbuhkan pengetahuan dan dapat dipahami oleh seluruh masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah. Kekayaan budaya Dayak diperkenalkan kepada seluruh masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah, nasional dan internasional sebagai upaya peningkatan pariwisata budaya spesifik. Selanjutnya dikembangkan juga keragaman budaya untuk dikelola dengan baik, sehingga akan memperkuat kualitas hidup bangsa yang memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didirikan dengan modal kebhinekaan atau kemajemukan itu masing-masing daerah mempunyai peranan sangat penting dalam menjaga dan mempertahankan negara kesatuan. Kesenian juga mempunyai kedudukan sebagai alat perekat kesatuan. Kesenian Tradisional Dayak telah menjadi bagian hidup masyarakat Dayak sejak ratusan tahun yang lalu sebagai media hiburan dan menjadi penyemangat hidup masyarakat di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesenian Dayak baik berupa seni rupa, musik, sastra kerajinan tangan dan lain-lain adalah juga merupakan bagian dari kekayaan budaya nasional yang tidak boleh dibiarkan punah melainkan harus tetap dijaga keberadaannya. Sejak diproklamasikannya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia terdiri dari suku yang berbeda-beda, bahasa yang beraneka ragam, kebudayaan dan agamapun bermacam-macam. Jadi segala macam unsur yang berbeda-beda itu adalah modal untuk tegaknya NKRI sebab sejak diproklamasikan sudah demikian keadaannya. Karenanya kalau salah satu dari unsurnya itu hilang tentu akan ada yang kurang. Karena didirikannya NKRI ini dari kebhinekaan atau keberanekaragaman, kita hams selalu menjaga tetap tegaknyanegera itu tanpa hams membuang kebhinekaan sebagai modal utama tersebut.

Kesenian adalah bagian dari hidup manusia yang memberikan unsur indah sehingga karenanya dapat mengusir kejenuhan ketegangan dan kebosanan.
Kesenian juga adalah jaga diri dari sesuatu kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat akan dikenal dari penampilan keseniannya. Karena itu dalam rangkarevitalisasi dan pengembangan kesenian tradisional Dayak ini kita bertanggung jawab melakukannya. Dan ada pula yang terancam akan punah kalau saja kita tidak mengusahakan revitasisasinya. Ini masalah yang kita hadapi bersama. Kita hams menggali mengkaji dan mengembangkan kembali.
Apabila jika berbicara tentang seni budaya secara luas, maka banyak sekali seni budaya dan benda-benda yang bernilai peninggalan leluhur masa lalu yang belum digali.
Untuk itu di era otonomi daerah saat ini tanggung jawab menggali situs budaya yang ada di daerah sekaligus melestarikan dan mempromosikannya adalah tanggung jawab pemerintah daerah dengan melibatkan berbagai potensi masyarakat, baik secara perorangan maupun melalui organisasi dan kelompok­ - kelompok masyarakat seni.
Adapun lembaga pemerintahan daerah yang berwenang dalam pembangunan seni budaya adalah Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Provinsi Kalimantan Tengah, untuk melestarikan benda-benda seni yang bernilai sejarah dilakukan oleh Museum Balanga yang merupakan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Provinsi Kalimantan Tengah.
Kembali kepada bahasa pokok tentang kesenian yang hams kita gali kita hidupkan kembali untuk selanjutnya kita kembangkan dan lestarikan saya harap masing-masing kita hendaknya mempunyai kepedulian atasnya. Sekedar contoh kalau saja seni tari Babukung itu sendiri adalah kebudayaan yang luhur dan bermartabat karena menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia. Sampai kapanpun upacara yang berkaitan dengan kematian manusia akan tetap hams dilestarikan. Di masa hidupnya Bapak Haji Muhammad Tsani (mantan Lurah Bakonso) adalah pemeluk Islam tetapi segala upacara tradisional yang dimiliki masyarakat Lamandau sangat beliau kenal dan beliau tetap melaksanakannya.Kebudayaan kesenian dan adat berbeda dengan agama. Di daerah-daerah lainpun saya kira ada hal yang demikian. Untuk itu dalam rangka revitalisasi dan pengembangan kebudayaan/kesenian tradisional yang masih adaharus kita kembangkan dan lestarikan, sedang yang sudah punahkembali untuk dikembangkan. Untuk inilah mengapa Dewan Kesenian Kalimantan Tengah mengundang saudara-saudara seniman dan budayawan pejabat yang berwenang menanganinya berkumpul disini untuk membahas dan memadukan sikap dan langkah-langkah ke depan untuk menangani kesenian dan kebudayaan luhur peninggalan nenek moyang kita yang tidak dapat dihitung harganya dengan uang.
Salah satu cara untuk dapat menjaga melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional kita adalah dengan memasukkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah dari SD sampai ke SMA.

Gelang Balian

Balian adalah dukun pengobat di suku Dayak, dalam upacara pengobatan biasanya Balian menarikan tarian pengobatan untuk memanggil roh dewa dan leluhur. Aksesoris yang dipakai Balian dalam menari diantaranya adalah gelang Balian, gelang ini apabila dibunyikan dipercaya dapat memanggil roh-roh. Gelang balian disebut juga dengan gelang Hiyang (dewa), gelang ini dipakai para dukun Balian pada kedua pergelangan tangan, jumlah gelang yang dipakai menunjukkan tingkat kesaktian Balian tersebut, yang tertinggi memakai 3 buah gelang.



          Gelang ini terbuat dari bahan gangsa (perunggu), bentuknya bulat melingkar mirip seperti bentuk kue donat dan cukup berat. Gelang yang dipasang dipergelangan tangan masing-masing berpasangan atau lebih, sehingga apabila tangan dihentakkan atau digoyang maka akan terjadi benturan antara gelang-gelang tersebut dan menghasilkan suara yang sangat nyaring.




Bunyi benturan dari gelang tersebut mengikuti hentakan irama musik pengiring tarian, dengan kata lain para Balian menari sambil membunyikan gelang-geang di pergelangan tangan mereka. Membunyikan gelang-gelang sekaligus menari memiliki tingkat kesulitan tersendiri, sebab terkadang bunyi gelang lebih rapat dan cepat. Gelang ini dapat digunakan oleh dukun Balian laki-laki maupun perempuan.

Kamis, 13 Desember 2012

Sampek Alat Musik Dayak Yang Unik Nan Menawan

                  Suku Dayak memiliki berbagai alat musik, diantaranya adalah Sampek. Sampek artinya alat musik yang dipetik, sampek berbentuk lebar pada bagian badannya,bertangkai kecil, memiliki senar dari bahan plastik dengan panjang berukuran satu meter. Sampek jenis ini memiliki 4 tangga nada.





Sampek dibuat dari kayu Pelaik (kayu gabus) atau jenis kayu lempung lainnya yang sudah dipilih. Selain dari kayu jenis lempung, sampek juga bisa dibuat dari kayu keras seperti kayu dari pohon nangka, karena semakin keras dan banyak urat pada kayu untuk pembuatan sampek maka suara yang akan dihasilkan akan semakin merdu. Walaupun demikian, bukan berarti tingkat ketebalan dalam pembuatan sampek tidak mempengaruhi. Karena untuk menghasilkan suara merdu yang lama dan merata sampek harus memiliki ketebalan yang pas.

Untuk memainkan sampek sangat berbeda dengan gitar, jari – jari tangan pemain hanya diletakkan di satu senar saja. Biasanya para pemain sampek memainkannya tanpa menggunakan buku lagu, artinya mereka memainkannya dengan menggunakan perasaan hatinya saja. Alat musik ini biasanya dimainkan pada acara syukuran, pesta pernikahan dan pesta rakyat dengan diiringi tarian – tarian khas dayak seperti tari Datun Julut.